Ruang Konseling Part 1 (Psikiater)
Siapa yang mengira bahwa Esa si tukang bikin puisi, yang sukanya memotivasi dan nyemangatin orang-orang ini tiba-tiba didiagnosa depresi. Aku sendiripun tidak percaya, masih teringat jelas bagaimana rasanya ditembak langsung oleh psikiter juga psikolog sekaligus. Tapi, sungguh, ada banyaak sekali pembelajaran berharga yang aku terima. Dan semoga perjalananku kali ini dapat membantu siapapun yang sedang membutuhkan dorongan kesehatan mental dan persiapan konseling. Karena yaa memang datang konseling tidak semudah itu.
Sebelumnya aku akan warning dulu bahwa tulisan kali ini mengandung banyak triger. Jadi buat kamu yang memiliki triger harap berada dalam pengawasan profesional ya.
inhale ... exhale ...
Akhir tahun 2023, aku mendatangi ruang konseling psikiater bersama mama. Sebenarnya ini bukan kali pertama. Aku sudah menghadapinya sejak 2017, saat pertama kali membawa mama yang sudah tidak sadar (kenyataan) ke rumah sakit jiwa di kota yang lokasinya jaauh dari tempat tinggalku. Sejak itu, sebenarnya mama mulai langganan "manik". Sebuah kondisi dalam bipolar yang membuat pasien merasa terlalu bersemangat hingga merasa memiliki super power dan mampu merubah dunia. Dan kondisi manik ini biasanya akan diiringi dengan fase depresi dimana mood terjun seketika, anjlok seanjloknya.
Semakin ke sini, mama semakin sering manik. Sebentar manik, Sebentar depresi. Sebentar tertawa. Sebentar menangis. Berubah dalam hitungan detik. Terutama bila ke-triger oleh hal-hal yang ia baca lewat media sosial. Mulanya manik setiap beberapa tahun sekali, lalu setahun sekali, dan terakhir beberapa bulan. Aku pun sebenarnya sudah tau bahwa mama akan sering manik selama mama tidak menjalani pengobatan rutin karena beliau masih denial. Merasa sehat-sehat aja dan gak terjadi apa-apa. Beliau hanya tidak bisa tidur dan tidak bisa makan (tapi tenaganya masih full). Padahal kita yang jagain (care giver) setengah mati waspada terlebih juga mengasuh anak balita. Karena bila udah ditahap yang parah banget, mama bisa melakukan hal-hal tak terduga diluar batas normal. Udahlah kita kelawahan dengan urusan kita sendiri ditambah harus meladeni pasien yang juga butuh support penuh. Tumbanglah aku.
Akhir tahun 2023, ketika aku datang bersama mama untuk konseling di RS yang berbeda dari saat pertama dulu (Alhamdulillah mulai ada psikiater di RS dekat rumah). Aku tidak berfikir bahwa aku sedang sakit. Aku hanya merasa kebingungan, apa yang harus aku lakukan agar mama bisa self aware. Jangan sampai mama ketriger dan manik lagi karena hal-hal sepele. Aku tidak bisa selamanya menjaga beliau seperti saat masih gadis dulu. Jadi, aku mendaftarkan namaku sendiri sebagai pasien ke psikiater yang sama yang memeriksa mama, agar aku bisa meminta arahan dan solusi dari psikiater tanpa mama ikut dengar. Karena setiap kali mama mendengar aku menceritakan kondisi mama, mama akan semakin denial. Dan semakin denial seseorang dengan mental ilness, akan semakin buruk pula kondisinya.
Aku masih ingat bagaimana rasanya dipanggil perawat untuk pemeriksaan awal. Aku hanya bilang bahwa aku khawatir dengan mamaku, dan kegelisahanku tentang mama. Aku hanya mengeluh bahwa aku merasa sedikit kesulitan untuk makan. Sesaat sebelum masuk ke ruang psikiater, secara mendadak aku gemetaran hebat. Tangan dan kakiku benar-benar bergetar hingga sulit dikontrol sampai akhirnya masuk ke ruangan konseling. Psikolog hanya mengangguk saja ketika kau bercerita tentang kondisi mama dan bilang bahwa "mama kamu lagi di fase psikotik". Sebuah kondisi dimana pasien skizofrenia mengalami diskoneksi dari kenyataan seperti delusi atau halusinasi. Ya, betul. Selain bipolar mama juga skizofrenia. Psikiater lantas bilang, "tugas kamu cuma mastiin mama minum obat, udah itu aja"
Lalu akupun diresepkan obat racikan oleh psikiater untuk diriku sendiri. Aku tau bahwa obat untuk mental ilness itu tidak seperti obat untuk flu atau sakit kepala yang ketika sudah sembuh tidak perlu lagi diminum. Obat untuk kesehatan mental adalah obat yang harus dalam pengawasan dokter yang boleh berhenti ketika dokter bilang berhenti. Dan ini bisa berlangsung alot, berminggu2, berbulan2, bahkan tahun. Aku jelas tidak meminumnya karena aku merasa baik-baik saja. Setidaknya aku masih bisa berfikir jernih.
Dipertemuan kedua, aku masih mengeluhkan hal yang sama tentang kondisi mama. Psikiater bilang, "kamu bisa campurkan obat mama di makanan atau minuman bila mama enggan minum". Lalu beliaupun juga meresepkan obat untukku sekali lagi. Aku bertanya, "saya tidak perlu minum obatnya kan dok?" Dokterpun menjawab dengan sekali jawaban, "lho, kalo gitu kamu sama kaya mamamu" (maksudnya denial), "kamu itu depresi" imbuhnya lagi dalam hitungan detik sembari menunjuk.
Bagai terjun ke dasar bumi duniaku runtuh. Sejak saat itu hari-hariku benar-benar kelabu. Warna-warni yang biasa ku lihat menghiasi hariku, sirna seketika. Hanya ada abu-abu.
Tapi aku tidak mau menyerah. Aku buat manuver, barganti arah! Aku tau bahwa rasanya masih cukup panjang untuk disebut depresi. Bahkan bila aku benar-benar depresi aku ingin mempelajarinya. Aku ingin mendapatkan insight baru. Jadi aku pergi mendatangi psikolog di rumah sakit yang berbeda.
Di sinilah perjalanan kesehatan mentalku dimulai ...
Komentar
Posting Komentar