Ruang Konseling Part 2 (Psikolog)
"Kamu depresi"
Masih terngiang yang dikatakan psikiater padaku saat itu. Mungkin benar saja bahwa kondisi mentalku sedang lemah, tapi kata "depresi" itu justru masuk semakin dalam bagai sugesti yang menggerogiti kejiwaan. Ya, begitulah kelemahan mental, selayaknya iman. Ketika kita melemah dan memberi celah untuk lemah, ternyata ia akan semakin lemah dan semakin lemah. Tapi sekali lagi, jiwa juga seperti raga yang bisa sakit dan butuh penanganan. Disitulah kita perlu profesional.
Aku percaya kalau kita semua memiliki pertahanan masing-masing dalam menghadapi gelombang kelemahan mental. Entah itu berupa kesedihan yang mendalam atau kecemasan atau overthinking dan lain sebagainya. Dan ketika kita mulai merasa, "sepertinya aku perlu ke psikolog" itu sebenarnya adalah sinyal naluriah dari dalam jiwa kita untuk meminta bantuan. Seperti halnya badan yang tiba2 meriang, ia butuh istirahat. Jiwa yang sakitpun butuh penanganan. Tapi inget, kita ga boleh self diagnose! Karena diagnosa yang salah bukan kita jadi sembuh malah justru menjadi-jadi.
Ada banyak cara di era modern ini untuk tau apakah kita benar-benar butuh penanganan profesional atau tidak. Misalnya, mengisi kuisioner atau melakukan test di aplikasi tentang mental health contohnya aplikasi "riliv" (bagi teman-teman yang butuh infonya boleh DM aku yaa). Tapi bila dirasa sudah sangat mengganggu, maka sebaiknya segera ditindak lanjut. Salah satu patokan darurat dalam kondisi mental illness adalah terganggunya aktivitas harian kita seperti makan, tidur, dan bekerja. Bila kita mulai susah fokus, susah makan, susah tidur dan semua sudah dilakukan. Itu bisa menjadi tanda kita benar-benar butuh bantuan.
Sebelumnya, apakah kalian tau bedanya psikolog dan psikiater?
Psikolog adalah profesional yang mengobati pasien melalui terapi berbasis percakapan sementara psikiater mengobati pasien melalui obat-obatan. Jadi, untuk kamu yang masih bisa berfikir rasional, masih bisa diajak ngobrol dan berfikir jernih boleh datang ke psikolog dulu sebelum ke psikiater. Dari psikolog kalian bisa meminta saran apakah perlu ke psikiater atau bisa jadi psikolog menyarankan keduanya secara bersamaan selama masa pengobatan bila diperlukan.
Tapi, ternyata, datang ke psikolog pun tidak semudah itu.
Hari pertama konseling aku mengeluarkan segala keluh kesah dengan sangat emosional. Menumpahkan segala kegaduhan dari A sampai Z yang selama ini mendera dan dipendam sendiri. Untungnya kita cerita sama psikolog Alhamdulillah psikolog tau bagaimana respon yang tepat dengan keluhan kita, sehingga aku merasa cukup lega dan lebih baik saat itu. (Meski dateng ke dokter juga cocok-cocokan yaa). Di konseling pertama juga aku menjalani beragam test dan beragam terapi. Hasilnya menunjukkan bahwa aku mengalami depresi juga anxiety yang dipicu oleh caregiver burden (kondisi kelelahan menjadi care giver untuk pasien gangguan mental yang menyerang ke mental juga)
Kali kedua aku datang malah makin emosional. Ternyata di sesi kedua, psikolog mencari luka semakin dalam sampai ke akar-akar. Luka-luka lama akhirnya dikorek lagi. Luka-luka yang aku telah berdamai akhirnya terbuka dan terurai. Aku jadi memahami bahwa dalam psikologi, segala macam luka di jiwa itu tidak ada yang sembuh secara total 100% seperti sedia kala. Luka tetaplah menjadi luka. Selama kita tidak menyembuhkannya dengan benar ia akan tetap ada tersimpan di dalam dada.
Emang dasar golongan darah A yang penasaran dan selalu persiapan, di sesi kedua setelah menjalani salah satu terapi, aku bertanya pada psikolog, "butuh sampai berapa kali sesi terapi?" Psikolog menjawab, "biasanya 7 sampai 9 kali baru terlihat hasilnya". Aku sudah menyiapkan diri menjalani 7 atau 9 bulan yang harus dilalui dengan konseling. Tapi ternyataaa di sesi ke-3, tiba-tiba psikolog bilang, "mba, ini sudah tidak perlu konseling lagi".
Di saat itu aku hanya berbekal catatan dan daftar pertanyaan yang aku butuhkan tanpa berekspektasi bahwa itu konseling yang terakhir. Di saat itu juga akhirnya aku tersadar bahwa datang ke psikolog butuh persiapan. Tidak seperti sakit fisik yang hanya butuh datang ke dokter sambil memperlihatkan lukanya. Sakit jiwa tak nampak lukanya dan kita butuh lebih dari sekedar "berlari" ke dokter dengan hanya membawa luka.
Lanjut part. 3 ...
Komentar
Posting Komentar