Sepanjang Senja: Memaafkan Banyak Hal

Pagi ini aku membantai habis Rindu, novel best seller karya Tere Liye yang terbit akhir tahun lalu. Novel ini menceritakan perjalanan haji orang-orang Nusantara masa kolonial, lebih tepatnya tahun 1938. Kapal Blitar Holland, yang membawa penduduk pribumi dari Makassar hingga Banda Aceh, mengarungi Laut Jawa hingga Samudera Hindia, menuju Jedah selama berminggu-minggu. Novel sejarah yang sungguh menarik. Pantas saja dalam waktu 3 bulan dari Oktober hingga Desember 2014, novel ini sudah mencapai “cetakan VIII”. Buku sejarah murni tidak akan selaris itu.

Novel-novel karya Tere Liye emang selalu keren, aku selalu berakhir disudut kamar, sendirian, dan menangis tiap kali membacanya. Seperti saat selesai membaca Sunset Bersama Rosie. Teman ku kaget bukan main ketika menemukan ku terduduk di sudut tempat tidur sambil menangis dengan novel ditangan. Tidak terbayangkan bagaimana keadaanku saat itu, dengan mata yang sembab dan menyeringai tak berdosa ketika ia bertanya apa yang terjadi. Rindu tak kalah keren dari karya-karya Tere Liye sebelumnya. Masih sama, tetap membuatku bercucuran air mata ,meski tidak separah Sunset Bersama Rosie novel yang satu ini sungguh paling melekat di hati. Rindu, tentang masa lalu yang pilu dengan banyaknya pertanyaan tentang hidup calon jemaah haji dari berbagai latar belakang, menuju tempat yang paling dirindukan berjuta umat muslim di seluruh dunia, Mekkah.

Rindu memberi banyak inspirasi. Hingga sore ini aku sudah membuat lima catatan. Aku mulai merasa kreatif (haha). Sepertinya selalu merasa begitu akhir-akhir ini. Tiap saat penginnya nulis. Jadi, disinilah aku kembali menulis. Bukan untuk meresensi novel ini, tapi untuk kembali berbagi pelajaran hidup tentang kebencian, kehilangan, patah hati, juga kerinduan yang selama ini ku pahami. Semoga dapat menginspirasi.

Sebelumnya, mari kita awali tulisan ini dengan mengutip sajak salah seorang tokoh dalam novel, Gurutta Ahmad Karaeng, ulama besar dari Katangka yang dihormati seluruh penumpang Blitar Holand. Di dalam kabin kapal, Gurutta menulis,

Wahai laut yang temaram, apalah arti memiliki? Ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami.
Wahai laut yang lengang, apalah arti kehilangan? Ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan.
Wahai laut yang sunyi, apalah arti cinta? Ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apa pun?
Wahai laut yang gelap, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya hanya setipis benang saja
(halaman 495)

Beberapa kali aku menulis tentang rindu. Aku bertanya-tanya apakah itu rindu? Siapakah itu rindu? Sekarang aku mengerti meski belum bisa benar-benar menuangkannya dalam tulisan sederhana agar dapat dipahami dengan mudah. Rindu itu melayang-layang, menghantui hari-hari yang panjang dan melelahkan, mencari celah, kemudian menelusup begitu saja sampai jauh ke dalam. Sampai jauh sejauh kita bisa mengendalikannya. Siapa bilang rindu itu selalu menyenangkan. Untuk beberapa situasi, rindu kadang menjadi hal yang sangat menyakitkan, yang obatnya tak hanya selesai saat terjadi pertemuan. Malah semakin menenggelamkan kita pada masa lalu yang belum terselesaikan.

Masa lalu. Bagi ku masa lalu itu berbahaya. Layaknya harapan, kenangan yang ada di sana dapat mendorong seseorang melakukan segalanya. Ia dapat menjadi sumber energi nomer satu yang memotifasi seseorang juga dapat menjadi asalan bagi sebagian yang lain untuk menyakiti diri sendiri. Aku memahami ini sejak awal, tapi belum bisa melakukannya dengan benar.

20 Oktober 2014 aku menulis di facebook
Setiap orang pernah melakukan kesalahan dalam hidup mereka. Pada massanya nanti ketika kamu menyadari, lagkah pertama yang harus dilakukan adalah memaafkan diri sendiri dan tentu saja istighfarlah, wahai saudara.

Lalu dua hari setelahnya aku menulis lagi.
Kamu boleh pergi sejauh-jauhnya, terbang setinggi-tingginya. Suatu saat nanti entah disadari atau tidak, kamu pasti akan menengok ke belakang. Karena bagaimanapun yang ada di sana, sebahagia apapun, sesedih apapun, itu adalah bagian dari hidup kamu yang menjadikan siapa diri kamu sekarang.
Suatu waktu ketika kamu ingin menengok ke belakang, kamu mungkin memiliki perasaan ingin kembali ke masa yang sama, entah untuk mengembalikan bagian yang hilang atau untuk sekedar mengulang kembali euphoria yang sama. Ketika itu datang, jangan melakukan appaun atau menghubungi siapapun. Cukup berdiam diri dan mencoba memaafkan diri sendiri. Karena setelah itu, hati yang akan menuntun mu.

Aku menulis itu, tapi aku tidak dapat melakukannya dengan benar dalam hidup. Rindu itu membuatku menengok ke belakang. Dan menengok kebelakang selalu menjadi hal yang menakutkan. Kenangan itu membayangi tiap langkahku, bahkan menyusup dengan sempurna di tiap celah kesadaranku. Tidak fokus. Menengok kebelakang tetap saja menang, meski berkali-kali aku menepisnya sekuat hati. Malah semakin menetap. Menengok kebelakang tidak mendewasakanku, malah semakin membuatku sakit saat itu, tenggelam hingga jauh ke dalam lukaku sendiri. Kemudian muncul banyak pertanyaan-pertanyaan tentang kehilangan, dan ketika aku tidak menemukan jawaban apapun semakin kalaplah aku menghadapi hujaman kenangan.

Hingga suatu waktu seorang teman berkata pada ku, “Kadang ada hal-hal yang tidak perlu dipikirkan, cuma tinggal dijalani saja..” Perkataannya saat itu cukup membuatku lega meski masih belum dapat menjawab sgala pertanyaanku. Sampai pagi tadi, aku membaca Rindu. Tepat dihalaman 375 aku terpaku. Di sana tertulis, Kesalahan itu ibarat halaman kosong. Tiba-tiba ada yang mencoretnya dengan keliru. Kita bisa memaafkannya dengan menghapus tulisan tersebut, baik dengan penghapus biasa, dengan penghapus canggih, dengan apa pun. Tapi tetap tersisa bekasnya. Tidak akan hilang. Agar semuanya benar-benar bersih, hanya satu jalan keluarnya, bukalah lembaran kertas baru yang benar-benar kosong.

Sesungguhnya aku tertawa dengan pertanyaan baru yang muncul setelah membaca dialog dalam novel itu, "Buka lembaran kertas baru yang benar-benar kosong. Apakah hidup sesederhana itu?" Di saat itu lah, aku semakin menyadari banyak hal.

Lucu kadang, menyadari bahwa kita pernah dibutakan oleh segala persoalan hidup yang membuat kita merasa menjadi orang yang paling sengsara di dunia. Lucu kadang ketika menyadari bahwa semua masalah kita itu tidak ada apa-apanya dibanding yang lainnya. Kita terlalu tenggelam, terlalu memikirkan jalan keluar dari segala persoalan hidup sampai jauh, berputar-putar, ruwet. Tapi ternyata jawabannya cuma begitu, Buka lembaran baru yang benar-benar kosong.

Kadang aku berfikir, hidup itu terus berputar, tidak pernah berhenti. Kita tidak akan berada di tempat yang sama, kita tidak akan berada di titik yang itu-itu saja bukan? Akan selalu ada lembaran baru dalam hidup, tidak harus menunggu yang lama usang, tapi hidup yang selalu berputar itu akan selalu memunculkan hal-hal baru. Bahkan ada kisah baru ketika kita bertemu seseorang yang lama. Takdir Tuhan selalu mengejutkan, bukan?

Tidak ada yang datang, meski kita menemui orang-orang yang baru, itu karena hidup mereka juga berputar. Tidak ada yang pergi, meski orang-orang lama tidak lagi muncul, itu karena hidup kita sama-sama berputar. Kadang aku merasa tidak kehilangan apapun. Kecuali kematian, kepergian seseorang hanya bagian dari kehidupannya yang berputar. Ia hanya sedang mencari jati dirinya. Biarkan dia berkembang, dewasa dengan cara yang dia anggap benar. Waktu akan membuatnya mengerti. Waktu akan membuatnya memahami.

Sama seperti pemahamanku tentang kamu, selama ini aku disibukkan dengan pertanyaan-pertanyaan akan masa lalu, tentang perpisahan dan kehilangan. Hingga semalam masih saja ada yang bertanya, “Kenapa? Kok bisa?” Sungguh, pertanyaan itu juga yang selama ini memenuhi pikiranku. Pertanyaan-pertanyaan tentang perpisahan dan kehilangan yang selama ini aku simpan dalam bayang-bayang “menengok ke belakang”, untuk ku sendiri, tidak pernah ku tanyakan pada siapapun.

Kenapa dia pergi? Bagaimana bisa dia pergi?

Tapi sekali lagi aku dihadapkan pada jawaban yang benar-benar sederhana, Aku tidak kehilangan apa pun, dia hanya sedang disibukkan dengan pencarian jati dirinya. Kenapa aku harus bersedih karenanya? Aku sadar setiap orang punya pilihan dalam hidup mereka. Tapi aku tidak akan pernah memintanya untuk memilih, karena aku bukan "hal" atau "sesuatu" yang bisa dijadikan pilihan. 

Kejatuhan itu memberiku pelajaran besar. Belajar menerima kenyataan, mengikhlaskan dan memaafkan banyak hal. Kejatuhan itu memberiku kekuatan untuk terus hidup dengan harapan-harapan baru dan mengusahakannya dengan sungguh-sungguh, mulai dari awal lagi, meluruskan niat. Kadang, aku merasa tidak benar-benar sedang jatuh, karena selalu ada yang mengangkat ku naik, menemani dan menunjukkan banyak hal. Sekedar menyapa atau tersenyum saja sudah membuat ku bahagia, terlebih yang selalu mengingatku dalam doa-doa kecil yang sederhana. Aku merasaknnya, semua itu membuatku bangkit, lagi, dan lagi. Hingga diantara kejatuhan itu, doa dan kekuatan mereka menggerakan hatiku untuk berbisik, Bukan, Sha.. Ini bukan ujian.. Tuhan hanya meminta mu untuk bersabar :)

Sesederhana itu kan .. Siapapun kamu yang sedang terluka di sana.. Lihatlah ke dalam dirimu, ada kekuatan besar di sana untuk menghadapi kenyataan pahit dunia… Siapapun kamu yang sendirian di sana, lihatlah ke dalam dirimu, bahwa kamu sangat berharga dan ada begitu banyak kasih sayang. Kamu tidak sendirian, kawan.
Mari berdamai dengan masa lalu dan memaafkan banyak hal :)

Yogyakarta, 28 Februari 2015 Sepanjang Senja: Memaafkan Banyak Hal

Postingan Populer