Perihal Jodoh PART 2
Poin penting dalam pernikahan yang menjadi perhatian kita nih ((menurut aku))
1. Memilih Pasangan
Baiknya kita tuh pasti banyaaak banget maunya. Kalo mau yang sama persih dengan mau kita plek ketiplek, sungguh gak bakalan ada di dunia ini, meskipun kita cari sampai ke ujung pelosok dunia berbagai ras, suku, bangsa. Mustahil dan pecuma! Bukan gak boleh punya kriteria, tapi jangan terpaku pada klasifikasi manusia, bahkan prasangka kita sendiri. Bener deh yang kita fikir anak baik-baik bisa diem-diem nyakitin juga. Karena manusia sedinamis itu. Itulah kenapa kita butuh aturan dan standar ukuran kebaikan (agama). Atau kita masih berfikir bahwa rumah tangga itu sudah cukup di bina dengan laki-laki penyayang, kalem, gak neko-neko, pengertian dna bertanggung jawab secara materi. Sungguh tidak saudariku. Betapa banyak istri-istri yang mengeluh bahwa rumah tangga, hati dan ruhnya sepi, hamba sebab sang suami tidak mau solat. Yaap! Perkara yang selalu dianggap remeh padahal pengaruhnya luar biasa dalam kehidupan manusia. Karena apa? Karena benar nasehat orang tua bahwa solat itu tiang agama dan pondasi kehidupan kita.
Tau ga? Islam itu sudah punya panduan memilih pasangan. Dan ini amat sangat sederhana sekali
· Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Bila tidak demikian, niscaya kamu akan merugi” (HR. Bukhari no. 5090, Muslim no. 1466)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan di muka bumi” (HR. Tirmidzi no. 1085. Al Albani berkata dalam Shahih At Tirmidzi bawha hadits ini hasan lighairihi).
Yap, pilihlah suami yang memiliki pengetahuan agama yang baik. Tanyain di mana dia biasa solat, nama masjidnya apa, siapa imamnya. Kalo dia solat di rumah (kecuali udzur) udah deh coret aja. Lakik kan wajibnya solat di masjid. Atau kalo dia masih suka selfie di kajian, bermudah-mudahan dengan lawan jenis di media sosial misal (komentar, like foto perempuan, dan perempuan-perempuan yang gimana yang dilike).. tentu hal-hal seperti ini menjadi pertimbangan selanjutnya. Keraguan-keraguan yang muncul ini bisa jadi pertanda jawaban dari Allah. Apakah hati kita masing-masing satu frekuensi atau tidak.
Seseorang yang memiliki pengetahuan agama yang baik, seseorang yang tau dosa, tau pahala, akan memiliki kontrol yang baik dalam hidupnya, sekaligus juga menghindarkan kita (para istri) dari prasangka dan berbagai jenis penyakit hati: suka marah, suka ribut, ngeluh, atau cari perhatian yang tidak pada tempat dan waktunya barangkali. Pengetahuan agama ini penting banget menjadi bekal dalam mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sehat. Tapi kan ingeeet, suami soleh maunya sama istri salehaaaa
Pertimbangan duniawi boleeh, penting juga (bukan asal nikah trus punya anak banyak), tapi bukan menjadi alasan untuk menolak dan menerima lamaran. Paham ya sampai sini? Kata Pak Ustadz, urutannya jangan kebalik. Cek parasnya dulu baru agamanya. Soalnya kalo kita cek agamanya dulu dan dodok, lalu baru cek parasnya dan gak cocok, ini termasuk menolak agama seseorang dan tidak diperbolehkan menolak agama seseorang dengan alasan duniawi. Apalagi kalo kita cuma liat duniawi aja tanpa pertimbangan agama. Duh, dah deh, selamat datang di rumah tangga penuh marahabaya. Na’udzbillah.
Soal para ini pun sudha diatur, bukan semata tampan atau cantik tapi menyejukkan pandangan. Pada dasarnya sih, yang soleh soleha bakal sejuk bila dipandang atas kuasa Allah. Dan harus yang sekufu (sebanding dalam hal kedudukan, agama, dan status sosialnya) gitu kata ulama.
Bila kriteria-kriteria tadi tidak terpenuhi dan kita udah terlanjur nikaah, ya jangan ngeluh terheran-heran dengan ujian-ujian yang datang dari Allah. Jadi semacam konsekuensi yang harus diterima atas pilihan kita. Dijalani aja dengan hati yang lapang, bersabar, dan perbanyak taubat. Berdoa semoga pasangan kita yang mungkin tadinya gak mau solat, gak mau nutup aurat, diberi hidayah oleh Allah dengan cara yang baik. Dan semoga ujian ini bisa membawa istri ke surga, seperti Asiyah istri Fir’aun. Kita perlu contek semangat beliau radhiyallahu ‘anha yang tetap istiqomah dalam menghadapi suami sedzalim Fir’aun. Tapi ya jangan sampai juga sih punya suami dzalim. Na’udzbillah yaa
“Semoga Allah merahmati seorang lelaki
yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan salat dan ia membangunkan istrinya
lalu si istri mengerjakan solat. Bila istrinya enggan untuk bangun, ia percikan
air di wajah istrinya. Semoga Allah merahmati seorang wanita yang bangun di
waktu malam lalu mengerjakan salat dan ia membangunkan suami lalu si suami
mengerjakan solat. Bila suaminya enggan untuk bangun, ia percikan air di wajah
suaminya.” (HR. Abu Daud no. 1450, An-Nasa’i no. 1611, Al-Hafizh Abu Thahir
mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Manisnyaaa pernikahan yaa, maasyaa
Allah,. Udah ga ada yang lebih manis lagi dari ini. Sedihnyaaa, kalo bangun
malem pagi buta sendirian, wudhunya sendirian,. Dah nikah tapi kok sepiii nah
lhoo. Mungkin harus lebih “kenceng” lagi doanya, tiap malam solatnya, lebih
lurus lagi niatnya, lillahita’ala
2. Mempersiapkan Pernikahan
Ini tidak kalah penting dari persiapan
fisik dan mental. Kalo fisik dan mental lebih ke kesiapan diri untuk adaptasi
waktu, tenaga, dan suasana. Yaa, soalnya ada yang harus kita urusin makannya,
pakaiannya, tidurnya. Gak kaya pas lagi single: bisa rebahan tiap kali kita mau,
makan tinggal makan, beresin rumah gak pernah. Ntar kalo udah nikah, minimal
bisa beresin kamar lah yaa... ha ha Apalagi pas punya anak, duh bye bye me
time. Makan mandi aja lari-lari
Yang mau aku bahas ini lebih ke persiapan
tempat tinggal dan finansial. Penting banget. Yang juga harus dibahas sebelum
nikah adalah nanti tinggal di mana. Kalo masih bareng keluarga ya keluarga yang
mana, siapa aja mahramnya satu rumah, lingkungannya gi mana. Bukan menuntut
untuk punya rumah sebelum nikah yaa, tapi rumah sendiri di lingkungan syar’i
adalah yang terbaik. Kayaknya gak ada gitu kajian yang bahas “sebaiknya tinggal
bersama orang tua” (kecuali ada udzur). Harus mandiri! Sebab tiap keluarga punya
“privasi”. Apalagi kalo yang ngajinya beda nanti persoalannya bakal panjang,
bisa berpengaruh ke pengambilan keputusan juga, berpengaruh ke pengasuhan,
berpengaruh ke hati dan keimanan. Apalagi kalo serumah ada non-mahram, rujukan
ulamanya beda, ustadznya beda, masjidnya beda. Huhuhu mengsedih. Menjadi
semacam ngasih celah untuk jalan masuk syaithan. Hal yang kita anggap biasa
misalnya saja ipar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki perhatian
bahwa “ipar adalah kematian”.
Tentu kembali ke kemampuan dan udzur
syar’i. Kalo kita udah ketemu ‘bibit ungguk” yaa mending fokus ke “bibit
unggul” ini, dunia bisa dicari dan diusahakan. Jangan sampai juga jadi
memaksakan kehendak. Apalagi sampe ribut-ribut. Harus dengan pertimbangan
matang, disesuaikan dengan keadaan. Kita tidak pernah tau celah mana yang jadi
jalan syaithan untuk membuat bahtera porak poranda. Jangan kasi kendor. Usaha
semaksimal mungkin. Kalo belum bisa ya tidak apa-apa, kduu sabar, tawakal.
Pasti Allah kasih petunjuk cepat atau lambat.
Tau ga sih kalo perceraian adalah
prestasi tertinggi bagi syaithan dalam menggoda manusia?
Dari Jabir berkata Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di
atas air (laut), kemudian ia mengutus bala tentaranya. Maka yang paling dekat
dengannya adalah yang paling besar fitnahnya. Datanglah salah seorang dari bala
tentaranya dan berkata, “Aku telah melakukan begini dan begitu”. Iblis berkata,
“Engkau sama sekali tidak melakukan sesuatupun”. Kemudian datang yang lain lagi
dan berkata, “Aku tidak meninggalkan seorang pun (untuk digoda) hingga aku
berhasil memisahkan antara dia dan istrinya. Maka iblispun mendekatinya dan
berkata, “Sungguh hebat (setan) seperti engkau” (HR. Muslim IV/2167 no. 2813)
Shahih dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Wanita mana saja yang meminta cerai pada suaminya
tanpa sebab, maka haram baginya bau surga” (HR Abu Dawud 2226, Darimi 2270,
Ibnu Majah 2055, Amad 5/283, dengan sanad hasan).
Selanjutnya, adalah aset. Kita memang
tidak bisa menjamin rejeki dan masa depan anak-anak, tapi mempersiapkan masa
depan mereka adalah tanggung jawab kita. Misal, kita inginkan dia jadi hafidz
atau ustadz yaa kita bekali ia dengan pengetahuan agama sedari kecil, kita
persiapkan ia untuk masuk pesantren. Atau kita inginkan ia sekolah di Mesir,
Madinah yaa kasih pemahaman ia untuk study aboard. Gak yang tiba-tiba dia kita
doktrin untuk begini begitu diusia remajanya. Bentrok ntar. Ajak mereka untuk
mempersiapkan masa depan sedini mungkin. Nanti kerasa kalo anaknya udah SMP,
SMA ditanya mau jadi apa lanjut kemana, bingung, gak tau, entah. Padahal
jenjang pendidikan selanjutnya menjadi penentu.
Rasulullah menyenangi umatnya yang banyak
dan segala keutamaan memiliki anak adalah penyemangat untuk mendidik generasi
yang soleh soleha. Jangan dijadikan beban. Tapi pun kalo belum siap tidak
mengapa. Banyak hal yang harus disiapkan memang. Jangan sampai punya anak
banyak tapi terlantar lalu menjebak mereka dalam pernikahan dini disaat psikis
dan mentalnya belum matang. Bukan menjadi penerus yang cemerkang, tapi malah
menjadi beban negara dan masyarakat. Kan pembodohan.
Buat yang belum niikah, bagus banget kalo
udah nyiapin dua ini (rumah dan aset). Hukum nikah tu gak selamanya wajib kata
ustadz, menyesuaikan keadaan dan kemampuan. Sama seperti hukum cerai yang tidak
selalu haram, sesuai keadaan. Selagi mampu menahan diri dari godaan,
perbanyaklah amal soleh. Kalo udah ga mampu, apalagi udah jadi terfitnah dan
jadi fitnah, apalagi udah ketemu “bibit unggul” ya nikahlah sobat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidak pernah terlihat dua orang yang saling mencintai seperti (yang
terlihat dalam) pernikahan” Hadits shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah no 1847,
Al Hakim II/160, Al Baihaqi VII/78 dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Lihat
Silsilah ash-Shahiihah no 624
Jadi kalo ada yang bilang cinta tanpa mau
menikah, bohon itu, termasuk juga menunda, bisikan syaithan namanya. Nyusahin
aja. Kalo belum siap nikah ya jangan cinta-cintaan, fokus memperbaiki diri,
perbanyak amal soleh, mengejar ridha Allah. Menjaga diri dan kehormatan. Itu
lebih baik dari kebaikan apapun di dunia ini.
Pun jangan sampai berkeinginan untuk
tidak menikah apalagi tidak memiliki anak. Ini melenceng dari fitrah islam,
pesimistik kali ah, dah ga bakal tenang hidupnya. Mesti! Mungkin tampak bahagia
(di luar) tapi pasti berbeda. Jangan terlalu percaya diri dengan idealisme
sendiri. Ntar kalo Allah balikin keadaan jadi 3600 dengan ujian yang
tidak pernah disangka-sangka akan menyesal sejadi-jadinya dengan semua
idealisme itu atau egoisme barangkali.
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara
kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah! Karena menikah itu lebih
menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa
yang tida mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa) karena shaum itu dapat
membentengi dirinya.” (Hdits shahih: diriwayatkan oleh Ahmad (I/378, 425, 432),
Al Bukhari (no 1905, 5065, 5066), Muslim (no 1400), At Tirmidzi no 1081, An-Nasa-i
VI/56, 57, Ad Darimi II/132, Ibnu Jarud no. 672 dan al Baihaqi (VII/77), dan
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
Dizkir dan puasa dapat menjadi perisai
dari terpaan hawa nafsu syaithan apapun kondisinya. Apalagi pas udah nikah,
beuh godaannya buat ga ngomel-ngomel sama suami dan anak aja huwaaa.
Orang-orang yang sering puasa atau solat malam (ibadah-ibadah yang hanya ia tau
sendiri) lebih keliatan gitu tenangnya. Dan kalo tenang, pikiran juga jadi
lebih jernih, juga mindful dalam
pengambilan keputusan.
3. Memenuhi Hak Pasangan
Ini pembahasan paling berat sekaligus
juga paling seru. Jangan kita terima dengan logika ya, soalnya pasti bakal “ih
kok gitu sih”, “kayaknya ga bisa deh”, “gitu banget”. Gak gitu gak gini
sistaah. Ini hukum Allah namanya. Gak bisa kita terima hanya di kepala tapi
juga dengan hati. Disitulah letak keimanan.
Next PART
Komentar
Posting Komentar