Bicara Bisnis dan Karakter

Saya bukan ahli dibidang ini, hanya mencoba berbagi pengalaman untuk membuka wawasan dan kolom diskusi
Mari kita awali dengan perjalanan karir yang tak seberapa

Dunia kerja memang tempat bagi insan untuk belajar realistis. Berbeda dengan masa sekolah atau kuliah yang masalah terbesarnya hanya seluas tugas yang rumit, skripsi yang gak selesai-selesai, pengajar yang killer, atau kerjaan organisasi yang menumpuk . Di dunia kerja, kita dituntut untuk mematuhi SOP, patuh pada boss, dikejar deadline, banyak tekanan. Sulit menemukan tempat yang nyaman. Apalagi untuk orang-orang yang notabene gak mau diatur, kayak saya. Pertahanan akan diuji, seberapa kuat ambisi dan sabarmu pada pekerjaan itu. Semua kembali kepada niat awal untuk apa bekerja? Demi uang kah, pengalaman kah, atau memang sudah tidak ada pilihan lain? Setiap hari akan ada kenyataan-kenyataan baru, yang bisa jadi pembelajaran atau mungkin malah jadi bumerang. Tambah hectic, stress parah.
Kembali lagi ke niat awal itu tadi, apakah semakin bertahan atau semakin tertekan

Ada benarnya ketika orang-orang bilang, "yang usai sekolah langsung bekerja lebih dewasa dari yang sekolah langsung kuliah"
Jelas, karena yang langsung kerja tadi harus menyelami kenyataan lebih awal, sementara yang kuliah hanya sibuk sebatas perpustakaan atau media-media organisasi, beda selaman. Tapi, soal dewasa kembali kepada pribadi masing-masing. Seberapa banyak ia belajar dari pengalaman setiap harinya

Bukan ini yang mau saya omongin sih
Sebenarnya ada satu hal yang sampai sekarang (setelah 5 bulan resign) masih saya fikirkan benar-benar. Tentang bisnis, tentang karakter kebanyakan, bukan lika-liku yang membahas soal uang, tapi lebih kepada perangai manusia dalam menjalani kehidupan, yang menurut saya jauh lebih menarik diperbincangkan

Tahun 2016
Waktu itu saya masih skripsi, belum lulus, tapi sudah diterima menjadi anggota BUMDes menjabat sekretaris melalui proses seleksi yang ketat dan terbuka. Saat itu, iseng aja karena lagi gabut2nya garap skripsi, ditelpon orang tua ada oprec begitu, yaudah kan ikut aja. Alhasil, kuliah di jogja saya tinggalkan, tapi sambil tetep mikir skripsi kok.

BUMDes ini adalah program pemerintah yang bertugas mengelola aset desa. So, hubungannya udah otomatis sama dunia perekonomian dong. Kontak pertama kami adalah para pedagang di desa dan komunitasnya.
Di Jogja, ada banyak sentralisasi pedagang tersebar hampir di setiap sudut jalan. Mulai dari kunci, stempel, buku-buku, batik, sampai permak jeans. Pernah saya beli buku di salah satu wilayah sentral tempat buku-buku loak dijual. Sampai di salah satu toko, saya langsung tanya buku yang saya cari, namun sepertinya dia tidak menemukan buku yang saya maksud, kemudian berkata "sebentar ya mba saya cari dulu"
Saya fikir beliau ini nyari di tempat penyimpanan macem gudang, ternyata enggak, beliau nyari ke toko sebelah dan sebelahnya lagi, sampai dapet. Maasyaa Allah.
Dosen ku pernah bilang, di Jogja memang begitu, saling guyubnya, gak ada rasa persaingan sama sekali, yang ada malah saling bantu.
Sejak saat itu saya selalu berfikir, "wah, bisnis ini dunia yang amat menyenangkan yaa". Ini juga yang membuat saya tertarik dengan BUMDes meskipun basic pendidikan saya bukan ekonomi.
Kembali ke BUMDes. Meruntut pada pengalaman itu, saya fikir kehidupan masayarakat di desa akan jauh lebih mudah untuk di atur karena masyarakatnya yang lugu. Soal pedagang di desa ini memang agak semwarut. Tidak ada peraturan yang jelas, gerobag2 mengganggu estetika lokasi taman kota, tidak rapi, parkirpun tidak teratur. Iya, saya fikir akan mudah dan menyenangkan. Tapi, ternyata. Tidak semudah itu, fergusooooo
Ternyata, masyarakat desa yang lugu dan homogen ini sulit diatur. Mereka menutup diri dari pembaharuan, daya saing jadi amat ketat dan tinggi. Salah salah bisa senggol bacok. Ku fikir ini problem utama kenapa masyarakat tidak berkembang. Gak open mind!
Tentu bukan hanya soal perdagangan saja, untuk semua sektor hampir semuanya menutup diri dan bersikap skeptis bahkan cenderung acuh tak acuh dan pasrah. Tidak memikirkan kemajuan bersama.
Ini jadi PR yang besar bagi pemerintah untuk mengentas kesenjangan pikiran, kesejahteraan.

Sama halnya kalo kita ngomongin bantuan. Semua orang langsung bertingkah miskin, padahal rumah sudah layak, punya motor dan perhiasaan. Tapi selalu merasa butuh bantuan. Seolah-olah bantuan pemerintah adalah prestasi kebanggaan yang harus dicapai. Bukankah ini secara tidak langsung menunjukkan betapa rendahnya semangat juang mereka? Yang sama artinya dengan rendahnya kesejahteraan sosial. Karena mereka selalu merasa rendah dan senang akan itu. Pola pikir macam ini yang harus diperbaiki

Balik lagi soal bisnis
Ku fikir, pendidikan berpengaruh pada sudut pandang. Yaa, masyarakat desa yang berpendidikan rendah akan memiliki pemikiran yang cenderung sempit dan tertutup. Ini membuat mereka tidak terbuka. Terlebih soal bisnis. Alih-alih saling bantu, persaingan akan ditingkatkan. Mereka justru tidak suka pada pembaharuan. Pikiran yang tertutup dan sempit akan mempersulit mereka dalam perkembangan zaman, misalnya bila ada pedagang baru (apalagi jenis dagangannya sama), mereka akan disibukkan dengan pertentangan dan persaingan yang cenderung tidak sehat (saling sindir, saling menjatuhkan). Padahal dengan itu, mereka dapat lebih cerdas dan kreatif untuk membuat inovasi. Bila memang produk bagus dan berkualitas seharusnya tidak masalah, bukan?. Toh rejeki tidak akan tertukar. Semakin ramai pedagang semakin ramai pengunjung. Peluang laris pun semakin tinggi. Atau katakanlah, mereka dapat saling kolaborasi satu sama lain, buat gebrakan baru yang kekinian, itu jauh lebih hebat lagi dan menginspirasi, memanfaatkan situasi dan kondisi untuk meramaikan pasar dan meraup keuntungan.

Sayangnya, tidak semua orang berfikir demikian. Tidak semua terbuka pikirannya untuk menerima itu. Persaingan menjadi semacam momok menakutkan. Ku fikir ini soal pendidikan. Tapi setelah beberapa kali terjuan dalam dunia bisnis, ternyata yang lulusan sarjana juga banyak yang menutup diri seperti itu. Padahal bila ada kerja sama, kreatifitas akan semakin tinggi dan peluang pasar akan menjadi lebih luas lagi. Ternyata pendidikan tinggi tidak menjamin yaa

Bisnis adalah unsur yang tajam. Salah asah dapat melukai. Teman bisa jadi lawan. Lawan bisa jadi teman. Semua kembali kepada niat awal. Apakah kita hanya ingin menguasai pasar ataukah kita membawa pesan dengan cita-cita luhur untuk membuat perubahan?? Apakah bisnis hanya soal uang dan keuntungan??
Kembali kepada karakter

Postingan Populer